Skip to main content

Ilmu mawaris ( Kalalah )

Kalalah adalah keadaan khusus dan memeperlihatkan hubungan anak dengan saudara. Kalau sesorang meninggal tidak mempunyai anak ada sedikit pembahasan dalam hukum kewarisan Islam. kalalah atau punah ialah kelau seorang “halaka” (arti bahasa “celaka”) tidak ada baginya anak, menurut al Qur’an surah An Nisa176 a. di sana disebut: Allah menerangkan tentang kalalah, ialah kalau seorang “halaka” (celaka maksudnya meninggal dunia) dan tidak ada baginya anak maka (disebutlah) saudaranya tampil mewaris (dengan berbagai kombinasinya).
Kalalah menurut Sunni dan aplikasinya
Dalam pandangan ulama sunni kalalah adalah orang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak dan ayah, dengan pemahaman kalalah sebagai ahli waris yang tidak meninggalkan anak dan ayah, menyebabkan saudara tidak mendapatkan hak waris ketika ada ayah karena ayah akan menjadi ashobah. Anak yang dimaksud dalam pembahasan kalalah adalah anak laki-laki, sehingga anak perempuan tidak dapat menghijab saudara. kedudukan saudara menjadi ashobah setelah isteri mendapat bagian 1/8 dan anak perempuan 1/2 bagian. Pembagian warisan terhadap seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Anak perempuan mendapatkan ½, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6 dan sisanya untuk saudara.

Kalalah menurut Hazairin dan aplikasinya
Kalalah adalah keadaan seseorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan. Keturunan di sini adalah setiap orang dalam garis lurus kebawah, baik melalui anak laki-laki mapun melalui anak perempuan.Ahli warisnya berdasarkan
surah An Nisa (4) ayat 12 adalah seorang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, dengan ketentuan bagian 1/6 dari harta peninggalan. Jika mereka terdiri atas beberapa orang saudara, dan semuanya laki-laki atau perempuan atau laki-laki dan perempuan, maka mereka berbagi sama rata atas 1/3 dari harta peninggalan tersebut. Adapun berdasarkan surah An Nisa (4) ayat 176, ahli warisnya adalah juga seorang saudara, baik laki-laki maupun perempuan. Jika ahli warisnya hanya seorang perempuan, maka ia mendapat 1/2 dari harta warisan. Bila ahli warisnya seorang saudara laki-laki atau lebih, mereka mewarisi seluruh harta warisan. Bila ahli warisnya terdiri dari dua orang atau lebih saudara perempuan, maka mereka bersama-sama mewarisi 2/3 dari harta warisan. Kalau mereka terdiri atas beberapa saudara, laki-laki dan perempuan, maka mereka menerima harta warisan itu dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali lipat dari yang diterima saudara perempuan.

Hazairin tidak sependapat dengan Jumhur dan menolak pembedaan antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara seibu. Menurutnya, saudara sekandung, seayah dan seibu mempunyai kedududkan sederajat sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras dengan sistem kewarisan bilateral menurut al-Qur‟an. Argumentasi yang diajukan Hazairin, bahwa kata-kata yang digunakan dalam al-Qur‟an tidak memberikan perincian tentang hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau seibu. Oleh sebab itu yang dimaksud akhun, ukhtun, ikhwatun adalah saudara dalam semua jenis hubungan persaudaraan, baik karena adanya pertalian darah dengan ayah maupun pertalian darah dengan ibu. Perbedaan bagian saudara antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan karena perbedaan pertalian darah antara ayah dan ibu (sekandung, seayah dan seibu), melainkan karena perbedaan keadaan (kasus) yang terjadi. Artinya kasus kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada ayat 176.

Kalalah dalam ayat 12 menurutnya adalah seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah masih hidup (bisa ibu sudah meninggal dan bisa ibu masih hidup sehingga saudara bisa bersama ayah dan ibu sekaligus atau hanya bersama ayah saja). Bagian saudara 1/6 jika satu orang, dan 1/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada, mendapat bagian sesuai dengan ketentuan fardlnya, sedang ayah mendapat sisa selaku zawil iqrabat.

Adapun kalalah dalam ayat 176 oleh Hazairin dimaknai, seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah sudah meninggal (mungkin ibu masih hidup dan mungkin sudah meninggal, tetapi yang pasti ayah sudah meninggal). Dalam keadaan ini, bagian saudara 1/2 jika satu orang, dan 2/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada misalnya ada janda, duda dan ibu memperoleh fardlnya masing-masing.

Hazairin juga menolak hadits Ibnu Abbas tentang ashabah. Pemberian kedudukan ashabah kepada kaum laki-laki tanpa batas seperti itu tidak sejalan dengan sistem kewarisan al-Qura‟an yang berbentuk bilateral. Hazairin mengemukakan dua permasalahan yang dijadikan dasar penolakan hadits tersebut. Pertama, apa ukuran bagi aula (yang lebih dekat atau utama)?. Kedua, benarkah hadits tersebut memberikan garis hukum yang berlaku umum, atau hanya menggambarkan suatu kasus tertentu sehingga hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula?.

Hazairin memberikan analisis bahwa kata “aula” pada hadits yang berbunyi : “alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin”. Pemberian makna laki-laki yang lebih utama/dekat dalam hadits itu harus diukur dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh al-Qur‟an, bukan oleh seseorang yang hanya berdasarkan anggapan masyarakat. Al-Qur‟an telah menetapkan secara sistematis mengenai kedekatan hubungan kekerabatan dengan membagi ke dalam beberapa kelompok keutamaan.

Menurutnya, kelompok keutamaan antara orang-orang yang sehubungan darah itu tidak semata-mata tergantung kepada jauh-dekatnya antara mereka (misalnya antara cucu dan anak,meskipun cucu lebih jauh daripada anak tetapi keutamaan mereka sama, kemudian cucu dengan saudara, meskipun sama-sama dua derajat jauhnya dari si mati, tetapi cucu lebih utama daripada saudara), dan tidak pula tergantung kepada jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan (misalnya antara cucu melalui anak perempuan dengan cucu melalui anak laki-laki, mereka sama-sama behak mewarisi).

Hazairin juga memberikan analisis dari sudut pandang teori pertumbuhan garis hukum dalam penyelesaian kasus. Kasus menurutnya ialah suatu perkara tertentu yang diputuskan hakim. Keputusan itu jika tidak ada cacatnya dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus lainnya sehingga akan menjadi yurisprudensi dan merupakan garis hukum ciptaan hakim yang berlaku umum.

Dalam garis hukum Islam, Rasul mempunyai kewenangan menetapkan hukum dan hukum yang ditatpkan oleh Rasul wajib diikuti oleh umatnya. Akan tetapi kewenangan Rasul menetapkan hukum itu apabila Allah belum memberikan ketetapan yang pasti dan ketetapan Rasul itu tidak boleh dan tidak mungkin berseberangan dengan kehendak Allah karena apa yang diputuskan oleh Rasul selalu didasarkan kepada wahyu (Q.S. an-Najm:3). Jika ada ketetapan Rasul yang tidak sejalan dengan ketetapan Allah, maka harus diduga bahwa ketetapan itu bukan dari Rasul, melainkan orang yang mengatakan adanya ketatapan itulah yang bohong.

Untuk menguji kebenaran hadits di atas, Hazairin menyatakan perlu dihadapkan dengan ketentuan al-Qur‟an yang berhubungan dengannya yaitu ayat 6 dari surah al-Ahzab dan ayat 75 surah al-Anfal dimana dalam kedua ayat tersebut ada bagian kalimat yang berbunyi: “…. dan orang-orang yang sepertalian darah sebagiannya lebih dekat - lebih utama - dari yang lainnya menurut ketetapan Allah dalam al-Qur‟an”. Yang dimaksud pertalian darah menurut al-Qur‟an, Hazairin memberikan pengertian “pertalian darah menurut sistem bilateral”, dan bukan menurut sistem patrilineal atau matrilineal atau yang lain.

Lebih lanjut Hazairin mengomentarinya, bahwa karena hadits Ibnu Abbas di atas tidak memberikan penjelasan mengenai maksud dari “orang laki-laki yang lebih dekat - utama - dari yang lain,”, maka keutamaan itu harus dipahami bahwa dengan menggunakan ketentuan yang ditetapkan al-Qur‟an. Demikian pula yang dimaksud laki-laki dalam hadits itu haruslah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lainnya, misalnya anak laki-laki lebih dekat dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki lebih dekat dari pada paman dan seterusnya.
Berdasarkan analisisnya ini, Hazairin menyimpulkan bahwa hadits Ibnu Abbas tersebut merupakan ketetapan Nabi dalam menyelesaikan kasus dimana ada beberapa laki-laki yang derajat keutamaannya berbeda, sehingga laki-laki yang lebih dekat atau lebih utama yang menerima sisa dari harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furudl.

Lebih lanjut Hazairin memberikan penjelasan bahwa semua hadits tidak boleh dan tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur‟an. Jika ada hadits yang bertentangan dengan al-Qur‟an, maka orang yang mengkhabarkan hadits itu yang bohong sehingga khabar atau hadits itu merupakan kabar bohong. Selain itu juga harus dipahamkan bahwa laki-laki- yang lebih utama itu adalah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lain.

Berdasarkan pemikirannya itu Hazairin mengambil kesimpulan bahwa hadits tentang ashabah di atas hanyalah mengenai kasus tertentu yang tunduk kepada sistimatika al-Qur‟an tentang kelompok keutamaan, di mana beberapa laki-laki tampil ke depan berkonkurensi.

Hazairin tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu, namun dalam menetapkan bagian terdapat perbedaan yang menyolok. Bagian saudara menurut Hazairin:
- 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih ketika “saudara bersama ayah, atau bersama ayah dan ibu“ berdasarkan an-Nisa‟ ayat 12, dan - 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih ketika “saudara bersama ibu“ berdasarkan an-Nisa‟ ayat 176).

Menurut Hazairin bagian saudara 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih menurut ketika “bersama ayah, bukan ketika “bersama ibu“ seperti ketentuan Buku II angka (6). Bagian saudara ketika “bersama ibu“ menurut Hazairin adalah 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih.





(dedicated for alm. ahmad mudz...)


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Hankam Indonesia

MAKALAH PS & KEWARGANEGARAAN DILEMA KEKUATAN MILITER INDONESIA DAN PERAN TNI-POLRI TERHADAP HANKAM INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A.      Latarbelakang Perkembangan manusia di abad ke-21 ini sangatlah cepat dan kompleks.Berbagai pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara besar telah mendorong beragam kemajuan pada negara-negara dunia ketiga.Perkembangan ini ternyata tidak saja didominasi oleh bidang tehnologi saja,melainkan juga diiringi oleh berbagai kemajuan disegala bidang kehidupan masyarakat global. Kemajuan-kemajuan tersebut diyakini akan selalu mengalami perkembangan kearah yang lebih modern dan akan melibatkan seluruh negara-negara didunia tanpa terkecuali. Kondisi yang dialami dunia secara global ini berdampak kepada pentingnya pelayanan negara kepada rakyatnya.Di Indonesia sendiri, tujuan negara tercantum jelas pada pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan

wallpaper HD

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat sore saudara sekalian, today I just want a share some a picture for your dekstop wallpaper... cekidot...

makalah sanad, urgensi dan matan hadist

SANAD DAN MATAN HADIST BAB 1 Pendahuluan Dalam mempelajari sanad Hadis Nabi SAW, seseorang harus mengetahui dua unsure penting yang menentukan keberadaan dan kualitas Hadis tersebut, yaitu  al-sanad dan al- matan.  Kedua unsure Hadis tersebut begitu sangat penting artinya dan antara yang satu dan yang lainny saling berhubungan erat, sehingga apabila salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap, dan dapat merusak, eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Suatu berita yang tidak memiliki sanad, menurut ulama’ Hadis tidak bisa di sebut sebagai Hadis; dan kalupun disebut juga dengan Hadis maka ia di nyatakan sebagai Hadis palsu (mawdhu’) demikian halnya juga dengan  matan,  ssebagai materi atau kandungan yang dimuat oleh Hadis, sangat menentukan keberadaan sanad, karena tidak akan dapat suatu sanad atau rangkaian para perawi di sebut ssebagai Hadis apabila tidak ada matan atau materi Hadisnya, yang terdiri dari atas perkataan,perbuatan, atau ketetapan ( taqrir ) Rosul SAW.